Suatu siang di kota Madinah yang sibuk. Rasulullah
mencium tangan salah seorang umatnya. Maklum karena ia seorang buruh yang
terbiasa bekerja keras, tentu saja telapak tangannya sangat kasar. “Inilah tangan yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya” demikian seru beliau pada khalayak yang hadir di tempat itu.
Pada kesempatan lain, beliau menegur seseorang yang
malas dan meminta-minta, seraya menunjukkan kepadanya jalan ke arah kerja
produktif. Rasulullah meminta orang tersebut menjual asset yang dimilikinya dan
menyisihkan hasil penjualannya untuk modal membeli alat (kapak) untuk mencari
kayu bakar di tempat bebas dan menjualnya ke pasar. Beliau pun memonitor
kerjanya untuk memastikan bahwa ia telah mengubah nasibnya berkat kerja
produktif. Begitulah, kerja produktif memang memiliki nilai yang tinggi dalam
islam.
Rasul bersabda: “tidak ada yang
lebih baik dari seseorang yang memakan makanan, kecuali jika makanan itu
diperolehnya dari hasil jerih payahnya sendiri. Jika seseorang diantara kamu
mencari kayu bakar, kemudian mengunmpulkan kayu itu dan mengikatnya dengan tali
lantas memikul di pungggungnya, sesungguhnya itu lebih baik dibandingkan dengan
meminta-minta kepada orang lain.” (HR Bukhari Muslim). Sebaliknya, sangat
tercela seorang muslim yang kerjaannya meminta-minta pada orang lain. “Barang siapa membuka pintu bagi dirinya
untuk meminta-minta, maka Allah akan membuka pintu kemelaratan bagi dirinya” (HR
Ahmad)
Dengan bekerja dan menghasilkan sesuatu, lambat laun
seseorang akan mandiri secara ekonomi. Demikian pula halnya dengan negara
semakin banyak warganya yang mandiri, serta bekerja dan berusaha secara
produktif, akan semakin tinggi tingkat kemandiriannya. Sebaliknya semakin
tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah pula tingkat kemandirian ekonomi
negara tersebut.
Oleh karena
itu usaha dan langkah-langkah yang mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha dan
lapangan kerja seperti usaha kecil, medapat prioritas tinggi dalam islam.